tulisan

Sabtu, 18 Mei 2013

NILAI PENDIDIKAN DALAM IMAN KEPADA RASULULLAH SAW

NILAI PENDIDIKAN DALAM
IMAN KEPADA RASULULLAH SAW

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu : Syamsuddin Yahya
                                                    
Oleh :
Aula Af’idah                          ( 123911010 )
Desi Kartika                           (123911011)
Syarifah                                  ( 123911012 )
Arifatul Rahmawati                 ( 123911013 )
                                               

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA IALAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
           

       I.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pengertian Iman kepada Para Rasul ?
2.      Bagaimana Sifat ParaRrasul ?
3.   Bagaimana Cara Kita Beriman  kepada Rasul ?
4.   Bagaimana Bukti Kita Beriman kepada Rasul ?
    II.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iman kepada Rasul
      Definisi iman Menurut bahasa mempunyai arti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah "membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan". Ini adalah penjapat jumhur ulama.
      Iman kepada rasul artinya membenarkan dengan seyakin - yakinnya bahwa Allah SWT mengutus seorang rasul pada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepada Allah SWT semata, tanpa menyekutukanNya dan untuk kufur pada sesembahan selainNya. Serta kepercayaan bahwa semua Rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunujuk serta menunjuki orang lain. [1]
                    Adapun dalil tentang kewajiban iman kepada para rasul, ialah sebagai berikut:
Allahberfirman:




Artinya :
Rasul ( Muhammad ) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al – Qur’an ) dari Tuhannya, demikian pula orang – orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat – malaikatnNya, kitab – kitabNya dan rasul – rasulNya. ( Mereka berkata ), “ Kami tidak membeda – bedakan seorangpun dari rasul – rasulNya.” Dan mereka berkata, “ Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada  mu tempat ( kami ) kembali.” ( QS.  Al – Baqarah : 285 )
      Rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT adalah mereka dari golongan laki-laki, tidak pernah ada rasul berjenis kelamin perempuan, dan jumlah rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW  sebenarnya sangat banyak. Seperti Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad


"Dari Abu Dzar ia berkata: Saya bertanya, wahai Rasulullah : Berapa jumlah para nabi? Beliau menjawab: Jumlah para Nabi sebanyak 124.000 orang dan di antara mereka yang termasuk rasul sebanyak 315 orang suatu jumlah yang besar." (H.R. Ahmad)
      Berdasarkan hadist di atas jumlah nabi dan rasul ada 124.000 orang, diantaranya ada 315 orang yang diangkat Allah swt. menjadi rasul. Diantara 315 orang nabi dan rasul itu, ada 25 orang yang nama dan sejarahnya tercantum dalam Al Quran dan mereka inilah yang wajib kita ketahui, yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syuaib, Harun, Musa, Al – Yasa’, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaruyya, Yahya, Isa, dan Muhammad.[2]
      Selain para Rasul – rasul itu dikuatkan dengan mu’jizat, iapun dikuatkan dengan kitab – kitab yang dibawa atau yang diturunkan kepadaNya.[3]
Disamping ke – 25 nabi dan Rasul diatas, terdapat pula nabi dan rasul lain, namun tidak dikisahkan secara sharih ( lugas ) oleh Al –Quran. Oleh karena itu, kewajiban mengimani mereka cukup secara ijmal ( global ) saja.
 Dalam QS. ghafir : 78 Allah berfirman :



Artinya :“ Dan sungguh telah kami utus beberapa utusan sebelum kamu, sebagian dari mereka ada yang kami kisahkan kepadamu sedang sebagian yang lain tidak kami kisahkan.”[4]
B.     Sifat Para Rasul

      Para nabi dan rasul memiliki mumiliki empat sifat wajib, empat sifat mukhal dan satu sifat jaiz.
      Adapun sifat wajib bagi rasul yaitu :
1.      Shiddiq ( benar )
Artinya nabi dan rasul bersifat benar, baik dalam tutur kata maupun perbuatannya, yakni sesuai dengan ajaran Allah SWT. Seperti firman Allah SWT dalam surat maryam ayat 50 :


2.      Amanah ( dapat dipercaya )
Artinya para nabi dan rasul itu bersifat jujur dalam menerima ajaran Allah SWT, serta memelihara keutuhannya dan menyampaikan kepada umat manusia sesuai dengan kehendaknya. Mustahil mereka menyelewengkan atau berbuat curang atas ajaran Allah SWT.
Lawan dari sifat amanah yaitu khianat ( curang )
3.      Tabligh ( Menyampaikan wahyu kepada umatnya )
Nabi dan rasul itu pasti menyampaikan seluruh ajaran Allah SWT sekalipun mengakibatkan jiwanya terancam.
Lawan kata dari sifat tabligh adalah kitman ( menyembunyikan wahyu )
4.      Fathonah ( pandai atau cerdas )
Artinya para nabi dan rasul itu bijaksana dalam semua sikap, perkataan, dan perbuatannyaatas dasar kecerdasannya, dengan demikian mustahil mereka dapat dipengaruhi oleh orang lain.
Lawan kata dari fathonah ialah jahlun yang artinya bodoh.
            Satu sifat jaiz nabi dan rasul, yaitu


Artinya :
Mereka juga memiliki sifat – sifat sebagaimana manusia pada umumnya seperti makan, minum, tidur, sakit, dan lain – lain.[5]
C.    Cara Kita beriman Kepada Rasul

      Setelah kita mengetahui tentang pengertian iman kepada rasul serta sifat – sifatnya sekarang kita akan membhasa cara beriman kepada rasul. Kita beriman kepada rasul berarti :
1.      Kita harus percaya akan kebenaran risalah yang mereka bawa
2.      Menerima semua kabar yang mereka bawa.
3.      Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita.
4.      Iman kepada rasul yang disebut namanya didalam Alquran maupun yang tidak.[6]
D.    Bukti  Beriman kepada Rasul
      Bukti beriman kepada rasul, berarti kita harus meneladani seluruh aspek kehidupan rasul, diantaranya : 
1.          Dalam ibadahnya; diwujudkan dalam bentuk ketundukan dalam menjalankan dan memelihara salat sesuai dengan tuntunan beliau. Beliau bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
Salatlah kalian sebagaimana aku salat. (H.R. Bukhari)
2.         Dalam tatacara berpakaian yang menutup aurat, sopan, bersih dan indah, makan makanan yang halal, bersih dan bergizi, makan tidak sampai kenyang, tidak makan kecuali setelah dalam keadaan lapar.
3.          Sebagai pemimpin umat, Beliau lebih mendahulukan kepentingan umatnya daripada kepentingan pribadinya; Beliau bukan tipe manusia individualistik yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
4.         Sebagai anggota masyarakat, Beliau bukan manusia yang suka berdiam diri di rumah seraya memisahkan diri dengan masyarakat sekitar, tetapi selalu berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat dan sering mengunjungi rumah-rumah para sahabatnya. [7]




 III.            PENUTUP
            Demikian makalah yang dapat kami susun, mudah – mudahan bisa memberikan kontribusi positif dalam pembelajaran yauhid ini. Khususnya dalam materi yang sudah ada dalam pembelajaran tersebut. Mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan atau kekeliruan, karena pada hakikatnya semua kebenaran adalah milik Allah SWT.























DAFTAR PUSTAKA
Rijal Hamid,Syamsul,  Buku Pintar Agama Islam,  Bogor , Cahaya Salam , 1995
Thahir, Taib, Ilmu Kalam, Jakarata, PT.AKA, 1997
Tim Ahli Ilmu Tauhid, At – Tauhid Li ash – Shaff ats – Tsani al – ‘Ali, Jakarta, Tim Pustaka Darul Haq, 2012
Yasid, Abu, Islam Akomodatif, Yogyakarta, LKiS, 2004
Firdaus, Detik – detik Terakhir Kehidupan Rasul, Jakarta, publicita, 1997




[1] Tim Ahli Ilmu Tauhid, At – Tauhid Li ash Shaff ats – Tsani al ‘Ali, ( Jakarata : Drul haq 2012 ), hlm. 94
.2. Dr. H. Abu Yasid LL.M, Islam Akomodatif, ( Yogyakarta : LKiS 2004 ), hlm. 12
  [3]  Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam ( Jakarta : PT. AKA, 1997 ), hlm. 152
[4] . Dr. H. Abu Yasid LL.M, Islam Akomodatif,hlm. 13
                [5] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, ( Bogor : Cahaya Salam , 1995 )
                [6]  Sugeng risyanto, Tauhid Kunci Surga yang Diremehkan, ( Semarang : Rasail Media, 2010 ) hlm. 120
                [7] Firdaus, detik – detik terakhir Kehidupan rasul, ( Jakarta : Publicita, 1997 )hlm. 75 - 79

makalah Ijma'

IJMA’

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Ali Muchtar, H, Lc, MA
                                                    
Oleh :
                                                Arifatul Rahmawati                            ( 123911013 )
                                               
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA IALAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
       I.            PENDAHULUAN
            Dalam kehidupan sehari – hari kita selalu melakukan kegiatan – kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum – hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama.
            Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al – Qur’an dan hadist agar jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal – hal yang pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijma’, macam – macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Macam – Macamnya?
2. Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana Contoh – Contoh Kasus Hukum yang Didasari Ijma’?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijma’ dan Macam – macamnya
      Arti Ijma menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah para ahli ushul  fiqih dirumuskan sebagai berikut :
اجماع هو اتّاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم شرعىّ فى الواقعة
 Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
 (kejadian ).” [1]
     Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
b.      Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi kesepakatan.
c.       Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus berdasarkan pada Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika didasarkan pada yang lainnya.[2]
           Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
     Yaitu ijma’ dimana para mujtahid menetapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lainya.
2.      Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
     Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau tidak memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :
“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan,”[3]
     Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai berikut :
1.      Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
2.      Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah terhadap sesuatu urusan hukum.
3.      Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu masalah.
4.      Ijma’  Khulafaur Rasyidin, yaitu :
 اتفاق الخلفء الاربعة على امر من الامور الشّرعّة
“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa atas suatu hukum.”[4]
5.      Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam suatu masalah.

B.     Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan hukum Islam
      Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah.[5]
      Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
      Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
a.       Firman Allah SWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر منكم (النساء:  59 )
Artinya :
“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.
b.      Hadist Rasulullah SAW
انّ  امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
مارءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik.”[6]
            Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
                 Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah  mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat perorangan.[7]
C.    Contoh – contoh hukum yang didasari Ijma’
a.       Pengangkatan Abu Bakar as – Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW
b.      Pembukuan Al – qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah abu bakar r.a.
c.       Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
            Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.[8]
 IV.            KESIMPULAN
            Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003
Efendi, Satria, ushul Fiqh, Jakarta, Fajar Interpratama Offset, 2005
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh , Jakarta, Bumi Aksara, 2005
Suratno, dkk, modul siap Un Kemenag, Semarang, 2011
Syarifuddin. Amir, Ushul Fiqh, Fajar Interpratama, Jakarta,2009




        [1]       Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,  (Jakarta, 2003), hlm. 308
        [2]       Drs. Suratno dkk, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang, 2011 ), hlm 131
        [3]       Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un Kemenag, hlm 132
        [4]       Drs. Totok Jumantoro, MA dan Drs. Samsul Munir, M.Ag, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta, 2009), hlm. 106
        [5]       Prof. Dr. H. Amir S, Ushul Fiqh.( 2009), hlm. 138
        [6]       Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un Kemenag, hlm 133
        [7]       Prof. Dr. H. Satria M. Zein, MA, Ushul fiqh, ( Jakarta, 2005 )
[8]       Drs. Suratno,dkk, Modul Siap Un Kemenag, hlm 134