tulisan

Minggu, 26 Mei 2013

Review PSI

Review Buku Studi Islam Kontemporer
26 Mei 2013
Oleh : Arifatul Rahmawati
123911013

Judul               : Studi Islam Kontemporer
Penulis             : M.Rikza Chamami, M SI                     
Penerbit           : Pustaka Rizki Putra (Semarang)
Cetakan           : Cetakan pertama
Tahun terbit      : Desember 2012
Tebal buku        : 228 halaman +xii

Buku ini banyak memberi saya informasi tentang Islam sebagai Ilmu pengetahuan, serta respon terhadap fakta studi Islam terhadap hal tersebut. Mulai dari pendeskripsian warna studi Islam yang meliputi empat pola, yaitu : Studi Peradaban Islam, Studi Filsafat, Studi Filsafat, Studi ruh sumber Islam dan Studi kawasan dan penjelasannya dengan amat rinci. Secara detailnya,  buku yang berjudul Studi Islam Kontemporer ini menyajikan sepuluh bab, yaitu :

Bab1. Pasang surut kebangkitan kebudayaan dan keilmuan: potret disintegrasi Abbasiyah 
. Pada bab ini, penulis  membahas tentang betapa besarnya Islam, serta perkembangan sejarah peradaban Islam. Disini dijelaskan bahwa pasang surut kebangkitan kebudayaan dan keilmuan : potret disintegrasi Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abdullah Al- Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, putra dari keturunan al – Abbas paman Nabi Muhammad SAW yang berpusat di baghdad. Dinasti Abbasiyah berkuasa dalam rentang waktu yang panjang, kira – kira 508 tahun ( 750 M / 132 H sampai 1258 M / 656 H ). Konsolidasi Dinasti Abbasiyah memiliki political will yang sangat profersional, tetapi kekuasaan Dinasti Abbasiyah akhirnya mengalami kehancuran sehingga mengakibatkan pasang surut atas kebangkitan kebudayaan dan  keilmuan.
Dalam rentang waktu yang lama itu , periodisasi perkembangan Dinasti Abbasiyah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu  : pertama, Periode perkembangan dan puncak kejayaan (750–950 M ), kedua Periode pemisahan atau disentegrasi ( 950 – 1050 M ). Ketiga, Periode kemunduran dan kehancuran ( 1050 – 1250M ).
Dalam kurun waktu tersebut, Islam mengalami kemajuan kebudayaan serta keilmuan yang signitifikan dengan adanya kegiatan menyusun buku – buku Ilmiah. Pada tahun 143 H atau pada zaman Abbasiyah pertama, para ulama mulai menyusun hadits, fiqh, tafsir, buku arab, sejarah dan hari-hari bersamaan. penyusunan tersebut melalui tahapan tertentu. Dimana  penyusun yang termashur yaitu : Imam Malik dengan kitabnya Al – Muwatta’.  Serta adanya pengaturan Ilmu – ilmu Islam yang meliputi ilmu tafsir, ilmu Fiqh, Ilmu Sejarah, Ilmu Nahwu, Ilmu Terjemahan Bahasa Asing. Adapun buku yang berhasil diterjemahkan pada masa itu, adalah baik buku tentang hukum, filsafat, astronomi, kedaokteran. Tokoh yang terkenal dibidang kedokteran yaitu : Ibnu Sina ( Al – Zanun fi al-Tib ) dan Al-Razi ( Alhawi )
Namun disamping itu, pada era tersebut juga terjadi disentegrasi yang disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal :Munculnya dinasti – dinasti kecil di barat maupun di timur baghdad yang berusaha meminta otonomi, Perebutan kekuasaan antara dinasti Buwaihi ( Persia ) dengan Saljuk (Turki ), Perang salib ( antara umat Islam dengan Eropa ), Adanya disintegrasi berdampak pada kehancuran konsolidasi politik dan niat untuk melakukan ekspansi, Muncul berbagai pemberontakan. Sedangkan faktor eksternal meliputi :Geografis : Jauhnya jarak antara pemerintahan pusat dengan wilayah, Politis : Para gubernur menghendaki otonomi kekuasaan , Ideologis : Pertentangan paham antar Sunnni dengan Syi’i, Etnis : terdapat bebrapa kelompok wilayah, seperti Persians, Turks dan Arabians.

Bab 2. Kajian kritis dialektika fenomenologi dan Islam
            Pada bab kedua ini, penulis memaparkan tentang fenomenologi dan materialistis yang menjadi tren kajian filsafat. Seluruh alam adalah sebuah buku besar yang penuh dengan tanda – tanda Tuhan, sebagaimana angin hanya dapat “dilihat” melalui tanda-tandaNya diseluruh alam yang memang diciptakanNya agar Dia dikenali oleh manusia. Namun, untuk menangkap dan menguraikan tanda – tanda tersebut menggunakan pendekatan fenomenologis.
Fenomenologi mempunyai arti gejala, metode, sumber berfikir yang kritis. Pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20, fenomenologi menjadi mashur sebagai gerakan filsafat di Jerman yang kemudian menjalar ke Perancis dan Amerika Serikat yang dipelopori oleh Edmund Husserl, dan sekarang telah menjadi salah satu disiplin ilmu baru dalam filsafat.  Fenomenologi memperhatikan benda yang konkrit, dalam pengertian bukan wujud dari benda itu melainkan struktur pokok dari benda tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk memahami arti, peristiwa serta keterkaitannya terhadap orang – orang dalam situasi tertentu.
Kajian fenomenologis terhadap esensitas keberaganaan manusia muncul karena adanya ketidakpuasan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji aspek – aspek normativitas agama dari kulit luar saja, sedangkan aspek internalitas-kedalaman keberagamaan kurang tersentuh.
Fenomenologi mengakui empat kebenaran secara aksiologi. Salah satu tokoh Islam yang menggunakan fenomenologi dalam melihat Islam yaitu Hassan Hanafi, dengan bertumpu pada tiga alasan.

Bab 3. Filsafat materialisme Karl Mark dan Friedrick Engels
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang kritik mengenai hadits.  Filsafat sering disebut sebagai ilmu yang menyelidiki dan menentukan tujuan akhir serta makna terdalam dari realita manusia, sehingga filasafat tidak mungkun berdiam diri atau terhenti dibelakang titik temu.
Karl Heinrich Mark lahir di Trier, Jerman pada bulan Mei 1818. Ia ahli filsafat, namun dikenal sebagai lelaki yang payah, otoriter, serta suka memburukan temannya. Ia memiliki sahabat karib yang bernama Friedrich Engels, yang lahir di Barmen Jerman 1820. Mereka berdua mendapat julukan “Bapak Pendiri Komunis”, karena beberapa ide yang berhubungan dengan Marxisme, serta menulis Menifesto Partai komunis (1848).
Filasafat Materialisme muncul sebagai reaksi ketidaksepakatan terhadap potivisme dan idealisme. Karena positivisme membatasi diri pada fakta – fakta, karena realitas seluruhnya terdiri dari materi bahkan Marx menganggap kalau materi merupakan hal yang utaman, sementara pikiran – wilayah konsep dan ide yang begitu penting hanya merupakan refleksi. Marx dan Engeles menilai filsafat sebagai materialisme dialektis serta materialisme historis belaka.
Marx disamping mengemukakan gagasan materialisme, ia juga melontarkan kritik tentang agama dengan menulis buku yang berjudul “ Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Law “ yang merupakan sumbangan kritik terhadap filsafat hukum.

Bab 4: Skeptisisme otentitas hadits: kritik orientalis Ignaz Goldziher
Hadits sebagai bagian dari sumber agama Islam yang disabdakan Nabi adalah interpretasi dari Al – Qur’an. Akan tetapi diluar Islam ada kalangan yang meragukan hadits sebagai sabda Nabi yang bersifat suci, karena dianggap hanya sebatas “rekayasa” kelompok tertentu untuk kepentingan politik dengan kedok sabda Nabi. Tidak dipungkiri, kritik hadits yang dilakukan para orientalis itu sama dengan apa yang dilakukan oleh para ulama, salah satunya yaitu Ignaz Goldzier.
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis keturunan Yahudi, yang dilahirkan di Szekesfehervar, Hongaria berkebangsaan Jerman. Ia menulis Piyyus, yang berisi asal usul waktu yang sembahyang bagi kaum Yahudi, menjadi anggota dalam perkumpulan orientalis di luar negri, dan karya ilmiah yang ia terbitkan yaitu Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte. Joseph Schacht adalah tokoh yang mengikuti aliran Goldzhier, mereka membuat buku yang berjudul “Muhammadenische Studies” dan “The Origin of Muhammaden Yurisprudence” yang menyatakan kalau hadits itu bukanlah berasal dari Nabi Muhammad SAW, melainkan sesuatu yang lahir pada abad kedua Hijrah, dengan kata lain hadits hanyalah buatan para ulama belaka, serta produk catatan hadits terakhir berasal dari dunia abad ke3 sampai ke9 Hijriyah. Namun apa yang dikemukakan oleh Goldziher dan Joseph tidaklah benar, karena secara eksplisit ditegaskan Al – Quran pada serat Al Maidah ayat 3

Bab 5 : Telaah Sosial – Kultural : Manhaj Ahlul Madinah
            Hukum Islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh orang – orang Islam, yang datang dari Allah dan tugas agama yang diwajibkan terhadap semua orang Islam dalam semua aspek kehidupan mereka. Namun, ketika Rasul masih hidup, tidak ada persoalan yang tidak terselesaikan, karena semua permasalahan tersebut langsung disandarkan kepada beliau serta syari’at yang dibawa oleh rasul merupakan  penyempurna syari’at terdahulu.
Setelah Rasulullah SAW wafat, ketika ada permasalahan yang tidak ada ketentuannya dalam nash,  para ulama merasa mempunyai kewajiban untuk memberi penjelasan dan penafsiran nash Al – Qur’an dan as-sunnah dengan berijtihad. Namun dalam melakukan ijtihad perspektif yang mereka gunakan berbeda, ada yang lebih menekankan pada penggunaan dasar nash Al Quran, dan as-sunnah, dan  lebih memilih hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada menggunakan akal, jika hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya  atau yang dikenal dengan ahlul hadits, dan ada yang sering mendahulukan pendapat akal daripada hadits-hadits ahad, dan merka sangatlah selektif dalam menerima hadits-hadits yang dikenal dengan ahli ra’yu. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sosio kultur.
Tokoh yang lahir dari kalangan ahlul hadits yaitu : Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, dan  Madzhab Hambali, karena mereka lahir di Madinah dimana mayoritas penduduknya hafal hadits.  Sedangkan imam yang lahir dari golongan ahli ra’yu yaitu Imam Hanafi.

Bab 6 : Postmodernisme : Realitas Filsafat Kontemporer
Kehidupan modern yang serba positivistik serta serba terukur sebagai konsekuensi dari pendewaan akal pikir telah gagal mengatasi problem kehidupan. Kegagalan modernisme itu telah melahirkan gerakan postmodernisme yang mendekonstruksi pemikiran modernisme. Dimana gerakan ini telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk seni, ilmu, filsafat serta pendidikan. Arus posmodernisme merupakann respon keras terhadap modernisme.
Menurut J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), diartikan secara sederhana sebagai “incredulity towards inetanarratives” dapat diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.” Sejumlah ahli mendeskripsikam posmo sebagai menolak nasionalits yang digunakan para fungsionalis, rasionalis, interpretif dan teori kritis. Promo bukan menolak rasionalitas namun lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif . Bukan mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematik. Tata pikir yang digunakan plasmo yakni : kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematik, serta plasmo lebih melihat realitas sebagai problematik. Ciri dunia postmodern yaitu  kondisi dimana kenyataan sebenarnya kalah oleh citra dan penampakan media. Adapun yang ditolak pascamodernisme adalah setiap gaya pikir yang menotalkan diri dan bergerak universal.
Mengenai modenisme tersebut, muncul dua aliran yang mempunyai tanggapan berbeda, yaitu pascamodernisme skeptis menjawab bahwa setelah modernisme, yang ada hanyalah pluralisme radikal, tanpa adanya makna atau kebenaran tunggal yang berperan sebagai pusat, serta kebenaran atau makna absolut dianggap mustahil. Yang kedua yaitu pascamodernisme alternatif, gairah pluralisme justru membawa visi baru tentang kebenaran, yakni tidak lagi sebagai Kebenaran ( dengan K besar ) yang menyandang peran pusat, melainkan kebenaran-kebenaran ( dengan k kecil ) yang bersifat lokal dan mini-naratif.
Akbar S Ahmed dalam karyanya, Postmodernisme and Islam ( 1992 ) mengingatkan bahwa pada prinsipnya, postmodern mengandung harapan sekaligus ancaman: elektisisme sebagai identitas etnis yang beragam tidak menjamin toleransi satu dengan yang lain. Heterogenitas etnis justru bisa menjadi lahan persengketaan dan permusuhan.

Bab 7: Potret metode dan corak tafsir Al-Azhar
Al – Qur’an adalah kalam Allah yang tiada tandingannnya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril, dimana keotentikannya dijamin oleh Allah. Agama memang sangat membutuhkan tafsir untuk memudahkan umatnya memahami makna pesan Tuhan dalam kitab sucinya.
Sakah satu kitab tafsir yang terbit di Indonesia adalah tafsir al Azhar karya Hamka. Hamka merupakan tokoh yang lahir di Minang tepatnya di tanah sirah, pada tanggal 13 Muharram 1362 H, dari ayah yang bernama Syekh Abdul Karim Amrullah. Hamka memiliki warisan predikat keulamaan secara genelogis yang ditanamkan andung ( nenek ) kepadanya lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur. Beliau memanifestasikan dirinya dalam berbagai aktivitas, diantaranya yaitu sebagai sastrawan, budayawan, ilmuan Islam, dan lain-lain. Dan salah satu karyanya yaitu Tafsir Al-Azhar.
Tafsir Al-Azhar berasal dari kuliyah subuuh yang diberikan oleh Hamka di masjid agung Al-Azhar, sejak tahun 1959. Namun pada tanggal 12 Ramadhan 1383 H, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian dihadapan kurang lebih 100 orang kaum Ibu di masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde Lama, lalu dijebloskan kedalam penjara.namun, disanalah ia memiliki kesempatan untuk memulai menulis Tafsir Al-Azhar. Hamka pernah dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan, Rawamangun, dikarenakan kesehatannya yang menurun. Namun disana beliau juga masih meneruskan menulis Tafsir al-Azhar. Ketika Orde Baru, Hamka bebas dari tuduhan tahanan, karena kekuatan PKI pada masa itu ditumpas. Setelah keluar dari tahanan, Hamka menggunakan waktunya untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar tersebut.
Metode yang digunakan Hamka dalam penulisan Tafsir al-Azhar yaitu metode tahlili (analisis) bergaya khas tertib mushaf, atau dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yag terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat – ayat tersebut. Adapun corak yang dipakai yaitu al-adabi al-Ijtima’i-Sufi ( sosial kemasyarakatan) adalah corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya yang menarik.

Bab 8 : Diskursus metode hermeneutika Al-Qur’an
Hermeneutik digunakan senagai jembatan untuk memahami Islam secara global, baik secara historis-sosiologis maupun semiotis-kebahasaan. Hermeneutika merupakan cara-cara untuk menafsirkan simbol- simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk – bentuk lainnya, untuk memahami kitab – kitab suci yang dilakukan oleh agamawan.
Hermeneutika dalam konteks al –Qur’an sering dinilai rancu, karena hermeneutika muncul dari tradisi barat yang banyak dihasilkan oleh orang non muslim. Sedangkan al –Qur’an merupakan kitab suci umat muslim, sehingga tidak mungkin dengan mudah menerima produk dari orang non muslim. Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskurus penafsiran al – Qur’an tradisional lebih mengenal istilah al-tafsir, al-ta’wil, dan al bayan. Namun, sekarang ini hermeneutika sudah mulai digunakan sebagai metode tafsir al- Qur’an karena merupakan salah satu metode untuk membedah kandungan ayat al-Qur’an dengan menyesuaikan konteks dan membuat ayat tersebut menjadi kontekstual.

Bab 9: Jawa dan Tradisi Islam Penafsiran Historiografi Jawa Mark Woodward
 Clifford Geertz, seorang antropologi terkemuka Amerika mengatakan kalau Islam itu sinkretik, serta membagi Islam di Jawa menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi. Munculnya kaum Santri dan Abangan merupakan produk dan pantulan islamisasi Jawa. Berasal dari riset sosio-kultural terhadap “Orang Jawa “ dan “masyarakat Jawa” terciptalah buku yang berjudul Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, oleh Niels Mulder, dimana buku tersebut berisi tentang banyak hal mengenai Islam dan Jawa, diantaranya yaitu :  hubungan tradisional dan modernisasi, serta kepribadian Jawa bertemu dengan proyek pembangunan di Indonesia.
Secara umum, Schrieke membagi proses islamisasi Jawa menjadi dua bagian yaitu proses yang bersifat ortodoks ( sinkretis ) dan proses ortodoksi (tradisi).  Menurut Mark R. Woodward mengenai “Islam Jawa” yang kemudian disimplikasikan sebagai “kejawen”- sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa ( Hindhu dan Budha ), tetapi tidak lain hanyalah berkembangnya Islam arab, Islam India, Islam syiria, dan lain sebagainya.

Bab 10 : Reinterpretasi Profil Peradaban Islam
Pada pembahasan bab terakhir dalam buku ini menjelaskan tentang hiruk pikuk peradaban Islam. Peradaban dan perubahan merupakan dua peristiwa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya karena manusia merupakan pelaku utama kegiatan untuk membangun peradaban itu.
Peradaban merupakan bentuk kebudayaan yang paling ideal dan puncak, sehingga menunjukkan keadaban, kemajuan, dan kemakmuran suatu masyarakat. Apabila kebudayaan bersifat abstraksi seperti sains murni, maka peradaban adalah hasil penerapannya seperti teknologi dan produk-produknya. Dan manusia bisa dikatakan berperadaban ketika dia telah berkebudayaan. Sejarah peradaban Islam mengandung makna perkembangan atau kemajuan Islam dalam perspektif sejarah. Sedangkan peradaban Islam yaitu peradaban umat Islam yang lahir dari motivasi keagamaan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, yang mana bisa berasal dari ajaran Islam secara murni maupun hasil elaborasi dengan unsur-unsur lain yang masih senafas dan tidak bertentangan.
Islam pernah mengalami kejayaan yang luar biasa, adapun pusat peradaban Islam saat itu berada di Baghdad, Kairo. Persia, Istambul ( turki). Ketika itu Islam memiliki perpustakaan yang dipenuhi beribu – ribu buku ilmu pengetahuan yang disebut Bait al Hikam ( Baghdad), adanya pembaharuan dibidang administrasi, pembangunan ekonomi, serta toleransi beragama ( Kairo ), melakukan pembangunan di berbagai sektor ( Persia , Istambul ). Kemajuan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu : adanya niat baik dari penguasa untuk mengusulakn Islam, Sumberdaya manusia yang handal, serta letak geografis.  Namun karena kelengahan umat Islam, kejayaan itupun akhirnya rutuh yang ditandai dengan runtuhnya dinasti Abbasiyah oleh pasukan mongol. Apabila masyarakat Islam tidak dalam posisi marjinal dan punya rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif, kosmopolit, serta berkarakter liberal.


Kelebihan dan Kelemahan Buku

Buku ini membahas tentang masalah keislaman yang mendasar, padat serta luwes dengan kelebihan dan kekurangannya. Buku ini dikemas menggunakan bahasa ilmiah, serta mampu membuat pembaca penasaran akan isi dari buku ini, buku ini dibuat untuk membantu mahasiswa mendapatkan rujukan dalam ilmu studi Islam secara lebih rici.
Dalam buku ini tercantum beberapa bab yang telah diperinci oleh pengarang. Selain itu, pengarang telah memberikan kesimpulan pada akhir tiap bab pembahasan sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap inti-inti dari kajian materi.
Namun, didalam buku ini, terdapat beberapa kata yang susah dimengerti oleh semua kalangan. halaman yang tercantum dalam daftar isi tidak sesuai dengan pembahasan dalam buku tersebut.
Demikian review yang bisa saya buat dari Buku Studi Islam Kontemporer. Semoga Ilmu yang saya peroleh setelah mempelajari buku ini bisa bermanfaat, khususnya bagi diri saya sendiri. Amin.




Minggu, 19 Mei 2013

muhasabah

Teruntuk hatiku ...
Tetaplah engkau menjadi sandaran dari segala hidup ini
Tegakkan semua kekuatan yang mulai menipis dan akhirnya terpuruk
Teruntuk hatiku ...
Tetaplah engkau menjadi seuatu yang bijak yang dapat menahan segala marah ini
Teruntuk hatiku ...
Tetaplah tersenyum
Seakan-akan engkau tak punya beban yang sangat pahit jika harus kau mengucapkannya
Teruntuk hatiku ...
Ukirlah kasih sayangmu pada lembaran cinta yang sudah lama kau simpan rapat-rapat itu
Jangan biarkan tinta lain ikut mengotorinya
Teruntuk hatiku ...
Ubahlah keresahan yang menempel pada dinding karangmu
Agar semua tetap bersinar dan takkan redup kembali
Teruntuk hatiku ...
Tetaplah menjadi lentera ditengah-tengah padang gulita


The Best Teacher








Untukmu Kawanku
Perpisahan itu akan selalu ada,
Karena kita pernah berjumpa,
Bersama,
Dalam canda tawa dan bahagia
Setiap tetes air mata yang tertumpah dihari ini,
akan menjadi saksi atas jalinan ukhuwah yang selama ini kita simpul seerat – eratnya.
Tak ada kata yang pantas terucap sahabat
Hanya derai bening yang selalu bertaburan,
Mengucap selamat jalan,
Silakan lanjutkan perjuanganmu kea rah yang lain,
Ditempat yang baru,
Yang akan menjadi jarak pertemuan kita.
Hari ini, jiwa dan naluri kita kembali terluka atas perpisahan raga.
Namun percayalah sahabat
Hati kita akan selalu terikat
Jalinan ukhuwahnya akan semakin erat, semakin jauh ragamu melangkah,
Semakin hatimu mendekat
Tidak usah terlalu bersedih,
Sahabat…. Berbahagialah,
 Karena engkau akan menemukan suasana yang baru,
 Bukan disini lagi, tapi disana.
Cukuplah setiap kenangan yang telah kita tanam, akan menjadi kenangan yang tumbuh subur,
Menyemaikan benih – benih cita diantara kita.
Karena kita tak harus disini, kita tak harus selalu bersama,
Kita harus melanjutkan langkah ini
Mungkin ke tempat yang lain,
Yang siap untuk kita tapaki.
Perkuat langkahmu sahabat
Yakinkan diri dan hatimu,
Hari esok pasti lebih cerah
Hari esok adalah harapan yang harus diraih.
Pandang senyumannya yang lebar,
Tatap wajahnya yang ceria
Hari esok adalah bahagia.
Yakinlah sahabat, cinta dan cita kita selalu bersatu.
Kita akan bersatu selamanya dalam cahaya persahabatan ini
Sahabat segala rindu yang akan muncul
Segala nafas yang akan berhembus
Segala harapan yang akan kita raih segala langkah yang akan kita ayunkan
Yakinlah disana ada sukses
Disana ada keberkahan, dan disana pasti ada cinta
Sahabt biarkan aliran air mata ini jatuh sesukanya
Biarkan dia mengalir
Mengucap kata seindah – indahnya
Biarkan dia, karena air mata tak berarti sedih, air mata tak berarti duka, air mata adalah lambing bahagiannya hati.
Biarkan dia menemani kita di hari ini
Biarkan
Karena dia memang hadir untuk ini, untuk sebuah perpisahan

Maaf
 Jika waktuku terlalu singkat
Untuk kulewati denganmu
Tawaku tetlalu sedikit untuk ku bagi bersamamu
Tapi , terlalu sering bahumu kubasahi dengan air mata,
Kubebani dg msalah masalahku
Tak bisa ku hitung berapa kali lidahku menyayat hatimu
Namun kau selalu memberiku udara saat aku sulit bernafas
Kau beri aku sayap saat aku sulit terbang
Maaf kalau semua itu hanya mampu kutebus dengan ucapan “ terima kasih “

Sahabat

Selamat melanjutkan langkahmu, selamat berjumpa lagi ditangga kesuksesan dala senyum yang lebih indah

Sabtu, 18 Mei 2013

Ulumul Hadits

KODIFIKASI HADITS

Di susun guna memenuhi tugas
 Mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Fakhrudin Aziz, Lc, M.S.I
DisusunOleh :

Arifatul Rahmawati
( 123911013 )

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
       I.            PENDAHULUAN
            Al Hadist adalah sumber  hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat islam. Yang menjadi penjelasan, penguat dari Al Quran.  Oleh karena itu penting bagi umat islam untuk mengetahui lebih jauh tentang Ulumul Hadits yang terus menerus mengalami perkembangan di setiap periode kehidupan manusia. Salah satu pembahasan dalam Ulumul Hadits itu mencakup tentang bagaimana  pengambilan hadist pada masa Nabi, penulisan hadits pada masa sahabat, penulisan hadits pada masa tabiin, keseriusan pemerintah islam dalam penulisan hadits, para penulis hadits dari periode ke periode.

    II.            RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana Pengambilan Hadits pada Masa Nabi ?
b.      Bagaimana Penulisan Hadist pada Masa Sahabat ?
c.       Bagaimana  Penulisan Hadist pada Masa Tabiin ?
d.      Bagaimana Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan Hadist ?
e.       Siapakah Para Penulis hadist dari peride ke periode itu ?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengambilan Hadits pada Masa Nabi
      Periode Rasul SAW. Merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, merupakan kurun waktu turun wahyu ( ashr al – wahyi ). Keadaan tersebut sangat menuntut keseriusan dan kehati – hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran islam dalam menerima kedua sumber ajaran, karena pada tangan mereka kedua – duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris berikutnya secara berkesinambungan.[1]
      Para sahabat menerima hadits ( syariat ) dari Rasul SAW. Adakala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.[2]
      Walaupun hadits merupakan sumber yang penting pula dari sumber – sumber tasyri’ tidak memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya, seperti menulis Al Quran, sehingga hal ini menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi.
      Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampurpadukkan hadits dengan Al Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al quran itu.
      Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al Bukhari yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan – pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena di kala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar menghalangnya karena ditakuti menambah berat sakit Nabi.
      Riwayat – riwayat yang benar ada yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran – lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari rasulullah SAW. Seperti Shahifah Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash, yang dinamai “Ash Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy dari Abu Hurairah :
ما من احد من اصحاب النّبيّ ص.م. اكثر حديثا عنه منّي الاّ ماكان عند عبد الله بن عمروبن العاص فإنّه كان يكتب ولا انا أكتب
      “Tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak ( lebih mengetahui ) hadits Rasul daripadku, selain Abdullah ibn Amer bin’Ash. Dia menuliskan apa yang ia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.”[3]

B.     Penulisan Hadist pada Masa Sahabat
      Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ ar – rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Al – Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi thalib ).
      Pada masa sahabat besar ini, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Al Quran. Dengan demikian, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwayatan hadits tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketata periwayatan ( at – tsabut wa al – iqlal ar – riwayah .)[4] 
      Meskipun perhatian mereka terpusat kepada upaya pemeliharaan dan penyebaran Alquran, tetapi mereka juga tidak melalaikan hadits, dalam meriwayatkan  sebuah hadits mereka sangat berhati – hati dan membatasi diri. Sikap kehati – hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin khattab, ia seperti halnya Abu Bakar, meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi, saksi dari orang tertentu saja, seperti hadits – hadits dari ‘Aisya. Sikap kedua sahabat ini juga diikuti oleh Utsman dan Ali.
      Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya Alquran. Hal ini disebabkan antara lain : pertama, agar tidak memalingkan perhatian umat islam dalam mempelajari Al Quran ; kedua, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari rasul saw. Sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan masing – masing sebagai pembinaan masyarakat, sehingga dengan kondisi ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.[5]        

C.    Penulisan Hadist pada Masa Tabiin
      Para tabiin juga cukup berhati – hati dalam meriwayatkan hadits. Tapi, beban mereka tidak seberat beban khulafaurrasyidin, karena pada masa ini Alquran telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak menghawatirkan mereka. Serta para sahabat ahli hadits telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabiin untuk mempelajari hadist – hadits mereka.
      Tersebarnya para sahabat di wilayah – wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits. Kota – kota tersebut ialah Madinah al – Munawwarah, Makkah al – mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat Pembina hadits pada kota – kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, ‘aisyah, Abdullah bin abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id al Khudri.
      Para tabiin dalam mengumpulkan hadits mengunakan dua cara yaitu ada yang menghafal atau menulis hadits tentang menghafal hadits, para ulama tabiin seperti Ibn Abi Laila, Abu Aliyah menekankan pentingnya menghafal hadits – hadits secara terus menerus. Tentang menulis hadits, disamping melakukan hafalan secara teratur, diantara mereka juga menulis sebagian hadits – hadits yang diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan atau surat yang mereka terima langsung dari sahabat sebagai gurunya. Contohnya yaitu Ibrahim bin Abdullah, Ismail bin Abi Khalid al – Ahmasi, Ayyub bin Abi Tamimah as – Sakhtyani.[6]
      Pengumpulan data hadist yang dicari dikumpulkan dengan langkah – langkah berikut :
1.      Mencari Guru atau menghubungi muhaddits lain.
Guru yang dimaksud yaitu setiap orang yang memberikan keterangan mengenai data hadits yang dicari oleh yang mencari data.
2.      Melakukan kunjungan keilmuan ( rihlah ilmiyah ),
Bangsa arab juga muhaddits gemar mengembara, antara lain: factor ilmiah, agama, ekonomi, politik, keingintahuan, dakwah.
3.      Adab interaksi muhadditsun.
Etika yang biasa dipegangi oleh muhadditsun, antara lain  :
a.       Keikhlasan niat yang diarahkan semata mata karena Allah
b.      Muhaddits wajib berbudi yang baik, terpuji perilakunya, dan berpenampilan baik.
c.       Menanggapi seluruh siswa yang dihadapi, dan tidak mengkhususkan suatu riwayat saja.[7]

D.    Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan Hadits
      Sesudah masa Usman dan Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya kedalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan – perlawatan untuk mencari hadits. [8]
      Umar Ibn Abdil Aziz, khalifah dari dinasti Umayah yang terkenal adil dan wara’ tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits, karena beliau sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal, sehingga beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits – hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi.
      Pada tahun 100 H khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin yang menjadi guru Ma’mar supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah bin Abdir Rahman, seorang ahli fiqih murid ‘Aisyah ra. Dan hadits yang ada pada pada Al Qasim ibn Muhammad, seorang pemukan tabi’y dan salah seorang fuqaha Madinah.
      Para ulama abad kedua membukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits – hadits saja, fatwa – fatwa sahabat  serta tabiin pun dimasukkan kedalam bukunya. Semua itu dibukukan bersama – sama. Maka terdapatlah dalam kitab – kitab itu hadits – hadits marfu’, mauquf dan maqthu’. Salah satu kitab hadist yang terkenal dalam abad kedua hijrah antara lain : Al Muwaththa’
 ( Imam Malik ).
      Pada abad ketiga dilakukan banyak usaha, antara lain  :
1.      Pemisahan antara pembukuan hadits dengan fatwa.
2.      Pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif dengan mempergunakan syarat – syarat pentashhihan.
3.      Mengisnadkan Hadits
4.      Memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima para ahli.
5.      Mengkritik perawi dan menerangkan keadaan – keadaan mereka tentang kebenarannya maupun kedustaannya.[9]

E.     Para Penulis Hadist dari periode ke Periode
      Sudah dapat difahamkan bahwa dalam abad pertama hijriyyah, mulai dari zaman rasul, khulafaurrasyidin, hadits – hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing – masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
      Para pengumpul pertama hadist yang tercatat sejarah, antara lain :
1.      Abad Pertama :
            Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Shihab Zuhry, seorang tabi’i yang ahli dalam urusan fiqih dan hadits, beliau adalah ulama besar yang mula – mula membukukan hadits atas anjuran khalifah. Namun, dalam kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.  Pembukuan hadist yang ada di Madinah itu dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihah Az Zuhri.
2.      Abad Kedua, diantaranya :
a.          Di kota Makkah, Ibnu Juraij ( 80 H = 669 M – 150 H = 767M )
b.          Di Kota Kufah, Sufyan Ats Tsaury ( 161 H )
c.          Di Kota Mesir, Al  Laits ibn sa’ad ( 175 H )[10]

 IV.            KESIMPULAN
            Al Hadits merupakan sumber hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat islam, yang menjadi penguat serta penjelasan dari Al Quran.
            Pengambilan hadits pada Masa Nabi itu ada yang secara langsung (mendengar sendiri dari Nabi ) dan tidak langsung ( lewat perantara ). Pada masa sahabat belum ada usaha yang sungguh – sungguh untuk melakukan pembukuan hadits, karena mereka lebih memprioritaskan pembukuan Al Quran. Pada masa tabiin sudah mulai melakukan pembukuan hadits, karena Al quran sudah dibukukan. Pembukuan al quran pada masa tabiin dilakukan melalui dua cara yaitu secara menghafal atua menulis. Keseriusan pemerintah islam dalam penulisan hadits, antara lain :
Setelah masa Usman dan Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari penghafal hadits, Umar bin Abdul Aziz tergerak hatinya untuk membukukan hadits,  Para ulama abad dua membukukan hadits meskipun masih tercampur dengan fatwa sahabat. Para penulis Hadist tersebut diantaranya : Abu Bakar ibn shihab Zuhry ( abad pertama )Ibnu Juraiz, Sufyan Ats Tsaury, al Laits ibn Sa’ad ( abad kedua ).

    V.            PENUTUP
            Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.













DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarng, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010
Soebahar, Erfan, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi, Semarang,   Rasail Media Group, 2008



1.Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 50
                [2]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT. Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 31
                [3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 33 - 39
                [4] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 57  
                [5]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, hlm. 59
                [6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 563 - 64  
                [7] Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, MA ( Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi : RaSail Media Group : 2008 ),hlm. 77 - 80
                [8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PTPustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 50

                [9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PTPustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 68 – 78
                [10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 61