KODIFIKASI
HADITS
Di
susun guna memenuhi tugas
Mata
kuliah Ulumul
Hadits
Dosen Pengampu Fakhrudin Aziz, Lc, M.S.I
DisusunOleh
:
Arifatul Rahmawati
( 123911013
)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Al
Hadist adalah sumber hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat islam.
Yang menjadi penjelasan, penguat dari Al
Quran. Oleh karena
itu penting bagi umat islam untuk mengetahui lebih jauh tentang Ulumul Hadits yang terus menerus mengalami
perkembangan di setiap periode kehidupan manusia. Salah satu pembahasan dalam Ulumul
Hadits itu mencakup tentang bagaimana pengambilan hadist pada masa Nabi, penulisan hadits
pada masa sahabat, penulisan hadits pada masa tabiin, keseriusan pemerintah islam
dalam penulisan hadits, para penulis hadits dari periode ke periode.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana Pengambilan Hadits pada Masa Nabi ?
b.
Bagaimana Penulisan Hadist pada Masa Sahabat ?
c.
Bagaimana Penulisan Hadist pada Masa
Tabiin ?
d.
Bagaimana Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan
Hadist ?
e.
Siapakah Para Penulis hadist dari peride ke periode
itu ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengambilan Hadits pada Masa Nabi
Periode Rasul SAW. Merupakan periode
pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Masa ini berlangsung
selama 23 tahun, merupakan kurun waktu turun wahyu ( ashr al – wahyi ). Keadaan
tersebut sangat menuntut keseriusan dan kehati – hatian para sahabat, sebagai
pewaris pertama ajaran islam dalam menerima kedua sumber ajaran, karena pada
tangan mereka kedua – duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris
berikutnya secara berkesinambungan.[1]
Para
sahabat menerima hadits ( syariat ) dari Rasul SAW. Adakala langsung dari
beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena
ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun
karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka
menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka
menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk
bertanya.[2]
Walaupun
hadits merupakan sumber yang penting pula dari sumber – sumber tasyri’ tidak
memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara resmi, tidak
diperintahkan orang menulisnya, seperti menulis Al Quran, sehingga hal ini
menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi.
Sebagian
ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap
mereka yang dikhawatirkan akan mencampurpadukkan hadits dengan Al Quran. Izin
hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits
dengan Al quran itu.
Dan
dikuatkan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al Bukhari
yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta
dituliskan pesan – pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena di
kala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar menghalangnya karena ditakuti
menambah berat sakit Nabi.
Riwayat –
riwayat yang benar ada yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai
lembaran – lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebagian
hadits yang mereka dengar dari rasulullah SAW. Seperti Shahifah Abdullah ibn
Amer ibn ‘Ash, yang dinamai “Ash Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy dari Abu Hurairah
:
ما من احد من اصحاب النّبيّ ص.م. اكثر حديثا عنه منّي
الاّ ماكان عند عبد الله بن عمروبن العاص فإنّه كان يكتب ولا انا أكتب
“Tidak ada seorang dari
sahabat Nabi yang lebih banyak ( lebih mengetahui ) hadits Rasul daripadku,
selain Abdullah ibn Amer bin’Ash. Dia menuliskan apa yang ia dengar, sedangkan
aku tidak menulisnya.”[3]
B.
Penulisan Hadist pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits
adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ ar – rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq,
Umar bin Al – Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi thalib ).
Pada masa
sahabat besar ini, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan
penyebaran Al Quran. Dengan demikian, maka periwayatan hadits belum begitu
berkembang, bahkan mereka membatasi periwayatan hadits tersebut. Oleh karena
itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya
pembatasan atau memperketata periwayatan ( at – tsabut wa al – iqlal ar –
riwayah .)[4]
Meskipun perhatian mereka terpusat kepada
upaya pemeliharaan dan penyebaran Alquran, tetapi mereka juga tidak melalaikan
hadits, dalam meriwayatkan sebuah hadits
mereka sangat berhati – hati dan membatasi diri. Sikap kehati – hatian juga
ditunjukkan oleh Umar bin khattab, ia seperti halnya Abu Bakar, meminta
diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi, saksi dari
orang tertentu saja, seperti hadits – hadits dari ‘Aisya. Sikap kedua sahabat
ini juga diikuti oleh Utsman dan Ali.
Pada masa
ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab,
seperti halnya Alquran. Hal ini disebabkan antara lain : pertama, agar tidak
memalingkan perhatian umat islam dalam mempelajari Al Quran ; kedua, bahwa para
sahabat yang banyak menerima hadits dari rasul saw. Sudah tersebar ke berbagai
daerah kekuasaan masing – masing sebagai pembinaan masyarakat, sehingga dengan
kondisi ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.[5]
C.
Penulisan Hadist pada Masa Tabiin
Para tabiin juga cukup berhati – hati dalam
meriwayatkan hadits. Tapi, beban mereka tidak seberat beban khulafaurrasyidin,
karena pada masa ini Alquran telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak
menghawatirkan mereka. Serta para sahabat ahli hadits telah menyebar ke
beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabiin
untuk mempelajari hadist – hadits mereka.
Tersebarnya para sahabat di wilayah –
wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan
dalam periwayatan hadits. Kota – kota tersebut ialah Madinah al – Munawwarah,
Makkah al – mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, mesir, Magrib, Andalus, Yaman,
dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat Pembina hadits pada kota – kota tersebut,
ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits cukup banyak, antara lain Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, ‘aisyah, Abdullah bin abbas, Jabir
bin Abdillah, dan Sa’id al Khudri.
Para tabiin
dalam mengumpulkan hadits mengunakan dua cara yaitu ada yang menghafal atau
menulis hadits tentang menghafal hadits, para ulama tabiin seperti Ibn Abi
Laila, Abu Aliyah menekankan pentingnya menghafal hadits – hadits secara terus
menerus. Tentang menulis hadits, disamping melakukan hafalan secara teratur,
diantara mereka juga menulis sebagian hadits – hadits yang diterimanya. Selain
itu, mereka juga memiliki catatan atau surat yang mereka terima langsung dari
sahabat sebagai gurunya. Contohnya yaitu Ibrahim bin Abdullah, Ismail bin Abi
Khalid al – Ahmasi, Ayyub bin Abi Tamimah as – Sakhtyani.[6]
Pengumpulan
data hadist yang dicari dikumpulkan dengan langkah – langkah berikut :
1. Mencari Guru atau menghubungi muhaddits
lain.
Guru yang dimaksud yaitu setiap orang yang memberikan
keterangan mengenai data hadits yang dicari oleh yang mencari data.
2. Melakukan kunjungan keilmuan ( rihlah
ilmiyah ),
Bangsa arab juga muhaddits gemar mengembara, antara
lain: factor ilmiah, agama, ekonomi, politik, keingintahuan, dakwah.
3. Adab interaksi muhadditsun.
Etika yang biasa dipegangi oleh muhadditsun, antara
lain :
a. Keikhlasan niat yang diarahkan semata mata
karena Allah
b. Muhaddits wajib berbudi yang baik, terpuji
perilakunya, dan berpenampilan baik.
c. Menanggapi seluruh siswa yang dihadapi, dan
tidak mengkhususkan suatu riwayat saja.[7]
D.
Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan
Hadits
Sesudah masa Usman dan Ali timbullah usaha
yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya
kedalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan – perlawatan untuk mencari
hadits. [8]
Umar Ibn Abdil Aziz, khalifah dari dinasti
Umayah yang terkenal adil dan wara’ tergeraklah hatinya untuk membukukan
hadits, karena beliau sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadits dalam
kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal, sehingga beliau khawatir
apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku hadits dari para
perawinya, mungkin hadits – hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi.
Pada tahun
100 H khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu bakar ibn Muhammad ibn Amer
ibn Hazmin yang menjadi guru Ma’mar supaya membukukan hadits rasul yang
terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah bin Abdir Rahman, seorang
ahli fiqih murid ‘Aisyah ra. Dan hadits yang ada pada pada Al Qasim ibn
Muhammad, seorang pemukan tabi’y dan salah seorang fuqaha Madinah.
Para ulama abad kedua membukukan hadits,
dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits – hadits saja, fatwa
– fatwa sahabat serta tabiin pun
dimasukkan kedalam bukunya. Semua itu dibukukan bersama – sama. Maka
terdapatlah dalam kitab – kitab itu hadits – hadits marfu’, mauquf dan maqthu’.
Salah satu kitab hadist yang terkenal dalam abad kedua hijrah antara lain : Al
Muwaththa’
( Imam Malik ).
Pada abad
ketiga dilakukan banyak usaha, antara lain :
1.
Pemisahan antara pembukuan hadits dengan fatwa.
2.
Pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih
dari yang dhaif dengan mempergunakan syarat – syarat pentashhihan.
3.
Mengisnadkan Hadits
4.
Memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima para
ahli.
5.
Mengkritik perawi dan menerangkan keadaan – keadaan
mereka tentang kebenarannya maupun kedustaannya.[9]
E.
Para Penulis Hadist dari periode ke Periode
Sudah dapat difahamkan bahwa dalam abad
pertama hijriyyah, mulai dari zaman rasul, khulafaurrasyidin, hadits – hadits
itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing – masing perawi meriwayatkannya
berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
Para
pengumpul pertama hadist yang tercatat sejarah, antara lain :
1. Abad Pertama :
Abu
Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Shihab Zuhry, seorang tabi’i yang
ahli dalam urusan fiqih dan hadits, beliau adalah ulama besar yang mula – mula
membukukan hadits atas anjuran khalifah. Namun, dalam kitab itu tidak
membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Pembukuan hadist yang ada di Madinah itu dilakukan oleh Al Imam Muhammad
ibn Muslim ibn Syihah Az Zuhri.
2. Abad Kedua, diantaranya :
a.
Di kota Makkah, Ibnu Juraij ( 80 H = 669 M – 150 H =
767M )
b.
Di Kota Kufah, Sufyan Ats Tsaury ( 161 H )
IV.
KESIMPULAN
Al
Hadits merupakan sumber hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat
islam, yang menjadi penguat serta penjelasan dari Al Quran.
Pengambilan
hadits pada Masa Nabi itu ada yang secara langsung (mendengar sendiri dari Nabi
) dan tidak langsung ( lewat perantara ). Pada masa sahabat belum ada usaha
yang sungguh – sungguh untuk melakukan pembukuan hadits, karena mereka lebih
memprioritaskan pembukuan Al Quran. Pada masa tabiin sudah mulai melakukan
pembukuan hadits, karena Al quran sudah dibukukan. Pembukuan al quran pada masa
tabiin dilakukan melalui dua cara yaitu secara menghafal atua menulis.
Keseriusan pemerintah islam dalam penulisan hadits, antara lain :
Setelah masa Usman dan Ali timbullah usaha
yang lebih serius untuk mencari penghafal hadits, Umar bin Abdul Aziz tergerak
hatinya untuk membukukan hadits, Para
ulama abad dua membukukan hadits meskipun masih tercampur dengan fatwa sahabat.
Para penulis Hadist tersebut diantaranya : Abu Bakar ibn shihab Zuhry ( abad
pertama )Ibnu Juraiz, Sufyan Ats Tsaury, al Laits ibn Sa’ad ( abad kedua ).
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa
masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian
dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,
Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarng, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Sahrani,
Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010
Soebahar,
Erfan, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi, Semarang, Rasail Media Group, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar