tulisan

Sabtu, 18 Mei 2013

Ulumul Hadits

KODIFIKASI HADITS

Di susun guna memenuhi tugas
 Mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Fakhrudin Aziz, Lc, M.S.I
DisusunOleh :

Arifatul Rahmawati
( 123911013 )

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
       I.            PENDAHULUAN
            Al Hadist adalah sumber  hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat islam. Yang menjadi penjelasan, penguat dari Al Quran.  Oleh karena itu penting bagi umat islam untuk mengetahui lebih jauh tentang Ulumul Hadits yang terus menerus mengalami perkembangan di setiap periode kehidupan manusia. Salah satu pembahasan dalam Ulumul Hadits itu mencakup tentang bagaimana  pengambilan hadist pada masa Nabi, penulisan hadits pada masa sahabat, penulisan hadits pada masa tabiin, keseriusan pemerintah islam dalam penulisan hadits, para penulis hadits dari periode ke periode.

    II.            RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana Pengambilan Hadits pada Masa Nabi ?
b.      Bagaimana Penulisan Hadist pada Masa Sahabat ?
c.       Bagaimana  Penulisan Hadist pada Masa Tabiin ?
d.      Bagaimana Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan Hadist ?
e.       Siapakah Para Penulis hadist dari peride ke periode itu ?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengambilan Hadits pada Masa Nabi
      Periode Rasul SAW. Merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Masa ini berlangsung selama 23 tahun, merupakan kurun waktu turun wahyu ( ashr al – wahyi ). Keadaan tersebut sangat menuntut keseriusan dan kehati – hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran islam dalam menerima kedua sumber ajaran, karena pada tangan mereka kedua – duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris berikutnya secara berkesinambungan.[1]
      Para sahabat menerima hadits ( syariat ) dari Rasul SAW. Adakala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.[2]
      Walaupun hadits merupakan sumber yang penting pula dari sumber – sumber tasyri’ tidak memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya, seperti menulis Al Quran, sehingga hal ini menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi.
      Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampurpadukkan hadits dengan Al Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al quran itu.
      Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al Bukhari yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan – pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena di kala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar menghalangnya karena ditakuti menambah berat sakit Nabi.
      Riwayat – riwayat yang benar ada yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran – lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari rasulullah SAW. Seperti Shahifah Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash, yang dinamai “Ash Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy dari Abu Hurairah :
ما من احد من اصحاب النّبيّ ص.م. اكثر حديثا عنه منّي الاّ ماكان عند عبد الله بن عمروبن العاص فإنّه كان يكتب ولا انا أكتب
      “Tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak ( lebih mengetahui ) hadits Rasul daripadku, selain Abdullah ibn Amer bin’Ash. Dia menuliskan apa yang ia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.”[3]

B.     Penulisan Hadist pada Masa Sahabat
      Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ ar – rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Al – Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi thalib ).
      Pada masa sahabat besar ini, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Al Quran. Dengan demikian, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwayatan hadits tersebut. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketata periwayatan ( at – tsabut wa al – iqlal ar – riwayah .)[4] 
      Meskipun perhatian mereka terpusat kepada upaya pemeliharaan dan penyebaran Alquran, tetapi mereka juga tidak melalaikan hadits, dalam meriwayatkan  sebuah hadits mereka sangat berhati – hati dan membatasi diri. Sikap kehati – hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin khattab, ia seperti halnya Abu Bakar, meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadits. Akan tetapi, saksi dari orang tertentu saja, seperti hadits – hadits dari ‘Aisya. Sikap kedua sahabat ini juga diikuti oleh Utsman dan Ali.
      Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya Alquran. Hal ini disebabkan antara lain : pertama, agar tidak memalingkan perhatian umat islam dalam mempelajari Al Quran ; kedua, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari rasul saw. Sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan masing – masing sebagai pembinaan masyarakat, sehingga dengan kondisi ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.[5]        

C.    Penulisan Hadist pada Masa Tabiin
      Para tabiin juga cukup berhati – hati dalam meriwayatkan hadits. Tapi, beban mereka tidak seberat beban khulafaurrasyidin, karena pada masa ini Alquran telah dikumpulkan dalam mushaf, sehingga tidak menghawatirkan mereka. Serta para sahabat ahli hadits telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabiin untuk mempelajari hadist – hadits mereka.
      Tersebarnya para sahabat di wilayah – wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits. Kota – kota tersebut ialah Madinah al – Munawwarah, Makkah al – mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat Pembina hadits pada kota – kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, ‘aisyah, Abdullah bin abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id al Khudri.
      Para tabiin dalam mengumpulkan hadits mengunakan dua cara yaitu ada yang menghafal atau menulis hadits tentang menghafal hadits, para ulama tabiin seperti Ibn Abi Laila, Abu Aliyah menekankan pentingnya menghafal hadits – hadits secara terus menerus. Tentang menulis hadits, disamping melakukan hafalan secara teratur, diantara mereka juga menulis sebagian hadits – hadits yang diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan atau surat yang mereka terima langsung dari sahabat sebagai gurunya. Contohnya yaitu Ibrahim bin Abdullah, Ismail bin Abi Khalid al – Ahmasi, Ayyub bin Abi Tamimah as – Sakhtyani.[6]
      Pengumpulan data hadist yang dicari dikumpulkan dengan langkah – langkah berikut :
1.      Mencari Guru atau menghubungi muhaddits lain.
Guru yang dimaksud yaitu setiap orang yang memberikan keterangan mengenai data hadits yang dicari oleh yang mencari data.
2.      Melakukan kunjungan keilmuan ( rihlah ilmiyah ),
Bangsa arab juga muhaddits gemar mengembara, antara lain: factor ilmiah, agama, ekonomi, politik, keingintahuan, dakwah.
3.      Adab interaksi muhadditsun.
Etika yang biasa dipegangi oleh muhadditsun, antara lain  :
a.       Keikhlasan niat yang diarahkan semata mata karena Allah
b.      Muhaddits wajib berbudi yang baik, terpuji perilakunya, dan berpenampilan baik.
c.       Menanggapi seluruh siswa yang dihadapi, dan tidak mengkhususkan suatu riwayat saja.[7]

D.    Keseriusan Pemerintah Islam dalam Penulisan Hadits
      Sesudah masa Usman dan Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya kedalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan – perlawatan untuk mencari hadits. [8]
      Umar Ibn Abdil Aziz, khalifah dari dinasti Umayah yang terkenal adil dan wara’ tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits, karena beliau sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal, sehingga beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits – hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi.
      Pada tahun 100 H khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin yang menjadi guru Ma’mar supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah bin Abdir Rahman, seorang ahli fiqih murid ‘Aisyah ra. Dan hadits yang ada pada pada Al Qasim ibn Muhammad, seorang pemukan tabi’y dan salah seorang fuqaha Madinah.
      Para ulama abad kedua membukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits – hadits saja, fatwa – fatwa sahabat  serta tabiin pun dimasukkan kedalam bukunya. Semua itu dibukukan bersama – sama. Maka terdapatlah dalam kitab – kitab itu hadits – hadits marfu’, mauquf dan maqthu’. Salah satu kitab hadist yang terkenal dalam abad kedua hijrah antara lain : Al Muwaththa’
 ( Imam Malik ).
      Pada abad ketiga dilakukan banyak usaha, antara lain  :
1.      Pemisahan antara pembukuan hadits dengan fatwa.
2.      Pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif dengan mempergunakan syarat – syarat pentashhihan.
3.      Mengisnadkan Hadits
4.      Memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima para ahli.
5.      Mengkritik perawi dan menerangkan keadaan – keadaan mereka tentang kebenarannya maupun kedustaannya.[9]

E.     Para Penulis Hadist dari periode ke Periode
      Sudah dapat difahamkan bahwa dalam abad pertama hijriyyah, mulai dari zaman rasul, khulafaurrasyidin, hadits – hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing – masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
      Para pengumpul pertama hadist yang tercatat sejarah, antara lain :
1.      Abad Pertama :
            Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Shihab Zuhry, seorang tabi’i yang ahli dalam urusan fiqih dan hadits, beliau adalah ulama besar yang mula – mula membukukan hadits atas anjuran khalifah. Namun, dalam kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.  Pembukuan hadist yang ada di Madinah itu dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihah Az Zuhri.
2.      Abad Kedua, diantaranya :
a.          Di kota Makkah, Ibnu Juraij ( 80 H = 669 M – 150 H = 767M )
b.          Di Kota Kufah, Sufyan Ats Tsaury ( 161 H )
c.          Di Kota Mesir, Al  Laits ibn sa’ad ( 175 H )[10]

 IV.            KESIMPULAN
            Al Hadits merupakan sumber hukum dan ilmu nomor dua setelah Al Quran bagi umat islam, yang menjadi penguat serta penjelasan dari Al Quran.
            Pengambilan hadits pada Masa Nabi itu ada yang secara langsung (mendengar sendiri dari Nabi ) dan tidak langsung ( lewat perantara ). Pada masa sahabat belum ada usaha yang sungguh – sungguh untuk melakukan pembukuan hadits, karena mereka lebih memprioritaskan pembukuan Al Quran. Pada masa tabiin sudah mulai melakukan pembukuan hadits, karena Al quran sudah dibukukan. Pembukuan al quran pada masa tabiin dilakukan melalui dua cara yaitu secara menghafal atua menulis. Keseriusan pemerintah islam dalam penulisan hadits, antara lain :
Setelah masa Usman dan Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari penghafal hadits, Umar bin Abdul Aziz tergerak hatinya untuk membukukan hadits,  Para ulama abad dua membukukan hadits meskipun masih tercampur dengan fatwa sahabat. Para penulis Hadist tersebut diantaranya : Abu Bakar ibn shihab Zuhry ( abad pertama )Ibnu Juraiz, Sufyan Ats Tsaury, al Laits ibn Sa’ad ( abad kedua ).

    V.            PENUTUP
            Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.













DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarng, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010
Soebahar, Erfan, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi, Semarang,   Rasail Media Group, 2008



1.Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 50
                [2]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT. Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 31
                [3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 33 - 39
                [4] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 57  
                [5]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, hlm. 59
                [6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, ( Bogor, Ghalia Indonesia : 2010 ), hlm. 563 - 64  
                [7] Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, MA ( Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi : RaSail Media Group : 2008 ),hlm. 77 - 80
                [8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PTPustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 50

                [9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PTPustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 68 – 78
                [10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Semarang, PT Pustaka Rizki putra : 2001 ), hlm 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar